Model

Dinamika Politik “Cawe-cawe” Mendapatkan Perhatian Kritis Para Pihak Baik Peserta Pemilu Maupun Akademisi Merupakan Bahagian Pendewasaan Berpolitik

Oleh: Purba Diamanson Purba, M. Pd

#image_title

SIMALUNGUN | Pembaharuan EWS.Com

Beberapa waktu lalu publik diramaikan dengan polemik mengenai adanya Pidato Presiden Jokowi ‘Menuju Negara Indonesia Maju’ pada Senin (29/5/2023). “Untuk bisa keluar cuma punya waktu 13 tahun dan itu sangat-sangat tergantung pada calon presiden di masa yang akan datang, yang akan bisa membawa Indonesia ke next level, karena alasan itulah kemudian saya akan cawe-cawe untuk itu,” imbuh Jokowi.

Hal ini ditanggapi Berbeda oleh Waketum Partai Demokrat Benny K. Harman melihat sisi berbeda dari pernyataan cawe-cawe Jokowi. Ia menilai sebagai kepala negara harus netral dan tidak boleh cawe-cawe dalam pemilu 2024.

Sementara itu, Anies Baswedan Bakal Capres RI ini mengaku mendengar kekhawatiran soal isu penjegalan dan kriminalisasi imbas dari cawe-cawe yang ia sebut sebagai ketidaknetralan presiden.

Dan banyak pihak memberikan tanggapan positif dan negative terkait pernyataan Presiden Jokowi ini.
Perlu dipahami bahwa “Cawe-cawe” memiliki arti “ikut membantu mengerjakan, membereskan, atau merampungkan” maupun “ikut menangani”. Dalam arti positif hal ini berkontribusi positip dalam pelaksanaan tahapan pemilu apabila dilakukan semua stakeholder pemerintah dari Pusat hingga daerah, bahkan tingkat pemerintahan terendah RT/RW. Sehingga diharapakan salah satunya peningkatan Partisapasi Pemilih dalam Pemilu 2024 nanti.

Sesuai dengan Peraturan Komisi Pemilihan Umum PKPU No. 3 Tahun 2022 tentang Jadwal dan Tahapan Pemilu sudah jelas diatur, bahwa untuk tahapan pencapresan akan dimulai pada bulan Oktober 2023 masih jauh dari tahapan, oleh karena itu apa yang sedang terjadi sekarang masih belum masuk pada tahapan pemilu untuk pencapresan, oleh karenanya apa yang kita lihat saat ini cukup untuk dipahami untuk kedewasaan memahami pemilu saja sehingga kita terhindar dari perselisihan yang berujung dengan pertikaian, artinya saat ini presiden masih bebas karena dia seorang presiden dan masih berkoalisi dengan berbagai partai yang dianggap masih mendukung pemerintahanya dan akan terjalin silaturahmi, namun hal itu belum bisa kita simpulkan bahwa itu sudah melanggar UU Pemilu karna masih jauh dengan tahapan pencalonan presiden dan wakil presiden di bulan Oktober 2023 nanti.

Namun dari isu cawe-cawean itu bisa juga meningkatkan perhatian masyarakat karena jadi sebuah bahan perbincangan nasional maupun lokal, sehingga hal ini bisa dijadikan menjadi positif dalam peningkatan pengguna hak pilih nantinya karena sudah menjadi perhatian warga.

Atas kejadian ini perlu dipahami khususnya wilayah Simalungun pada Pemilu 2019 lalu, Tingkat partisipasi pemilih pada Pemilihan Umum Tahun 2019 di Kabupaten Simalungun Provinsi Sumatera Utara secara umum masih di bawah target nasional sebesar 77,5%. Karena masih ada daerah yakni Dapil 4 hanya 67,82 persen partispasi pemilihnya meliputi kecamatan Bosar Maligas, Bandar dan Ujung Padang. Tetapi sekalipun Pemilu 2019 belum mencapai target Nasional, pencapaian pemilu 2019 ini sudah menjadi indicator adanya peningkatan partisipasi pemilih bila dibandingkan pemelihan tahun sebelumnya yakni Pilkada Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Simalungun tahun 2016 partisipasi pemilih 53,39 persen dan partisipasi pemilih Pilkada Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Sumatera Utara tahun 2018 sebesar 61,15 persen. Dengan demikian partisipasi tersebut bisa dimaknai, masyarakat para pemilih lebih antusias atau bergairah menggunakan hak pilihnya pada Pemilu 2019.

Semoga bermanfaat tulisan ini untuk mendewasakan kita dalam menyikapi pemilu 2024 yang yang penuh dinamika.(Rel)